Kang Rus, Dukun Modern Ibu Kota

Bagi orang Jawa, pantang pulang dengan membawa kegagalan. Rasa malu lebih tinggi kedudukannya ketimbang kematian. Gengsi! Itulah yg terbenam dalam pikiran Kang Ruslan.

Kang Ruslan adalah kakak tingkatku ketika kita sama sama nyantri di lereng gunung Merbabu. Aku lebih akrab memanggilnya kang Rus. Ketika kita sama sama memutuskan menempuh jalan pendidikan masing-masing, Kang Rus memutuskan merantau adu nasib di ibu kota.

Bermodalkan bisa ngaji kitab kuning dan buruh kasar, Kang Rus yang dulunya lurah pondok membulatkan tekadnya untuk berjuang di ibu kota. Alasan utamanya adalah merubah nasib.

Tujuh tahun berlalu, akhirnya kita dipertemukan juga di Ibu Kota Jakarta. Kebetulan aku baru selesai studi di Jogjakarta, bermodalkan ijazah D3, kucoba adu ejo di ibu kota. Jelas saudaraku satu satunya yang kumiliki adalah Kang Rus, sementara ini aku numpang di kantor sekretariat biasa Kang Rus ketemu dengan tamu 'Politiknya'.

Entah bagaimana ceritanya, Kang Ruslan yg dulu begitu 'ndeso' sekarang sudah mirip bos-bos berdasi, dandanannya mirip pengamat politik di Tivi-tivi. Gaya bicara dan bahasanya juga sudah sangat berbeda, jangankan soal hadist dan dalil, bahasa statistik, survei, dan strategi pasar pun libas terlahap olehnya sehingga banyak kalangan menganggap Kang Ruslan adalah seorang Ahli Pemenangan. Banyak yang bilang kang Rus adalah 'Dukun Modern'.

Pada sore yang agak sepi, kebetulan kita berkesempatan keliling ibukota,
;wah, Jakarta kok macet gini yo kang? Kok betah ya mereka hidup berhimpit himpitan gini? Tanah Jawa kan masih jembar kang’  tanyaku sambil merapikan sisa surat lamaran kerja.

Jakarta iku ibarat surganya Jawa, disini segala ada! Jakarta iku kota Impian kanggo wong sing meh golek duit, kekuasaan dan kehormatan. Kota Impian! Bahasa Inggrise Dreams City, jawabnya sambil merapikan kancing bajunya.
“Kamu ke Jakarta karena mimpi-mimpimu to? Ngopo kamu cari kerja ke Jakarta? Emange di kotamu nggen studi gak ada kerjaan? Di semua tempat itu ada peluang kerjaan tapi yo kenapa kamu memutuskan ke Jakarta?”

Edyan, mulutku seakan tersumpal lembaran Ijazah yang kubawa, belum sempat aku menjawab pertanyaannya tiba-tiba seolah ada yang menyeret mataku untuk melihat kearah samping kanan kiri, gedung gedung tinggi dan besar, tembok-tembok kokoh berdiri megah menyinggung perasaanku. Mereka begitu angkuh, menatap keberadaan ku. Matanya tajam tajam, sinis! Seakan sudah membentakku untuk jauh-jauh dari kota ini.

Namun, disatu sisi aku harus menguatkan hati. Menguatkan tekad bahwa ibu kota harus aku taklukkan. Meski sejujurnya aku merasa tersesat di hutan belantara dengan sarang-sarang sengatan listrik yang lebih mematikan dari jeratan sarang laba-laba. Hutan belantara dengan berjuta beton dan pohon bertingkat mencakar langit. Hutan belantara dengan berjuta halusinasi serta gemerlap lampu disko yang mengelabui mata. Sekali lagi, aku harus menguatkan hati, tak apa meski menyinggung perasaan aku anggap ini adalah awal perkenalan dan sambutan yg baik dan harus dinikmati.
“Kang Rus, aku Haus,”

Kita berhenti sejenak membeli dua kaleng air dingin. kemudian aku beranikan diri menjawab pertanyaan Kang Rus sembari 'glongsoran' di tepi jalan protokol.

Aku kesini mau adu bejo kang, judi dengan nasibku. Judi dengan takdirku kang, bukan soal Kotanya tapi ini soal Bejo dan Nasib kang. Aku percaya takdir terbaikku ditentukan disini kang. Kartu As ku masih belum ketemu!!

Kang Rus ketawa terbahak bahak, mirip seorang penonton menertawakan kecelakaan sirkus. Terus terbahak sambil memegangi perutnya, ketawanya semakin keras melengking kemudian tersendat sendat seperti suara rongsokan metromini. Setelah bahaknya mereda Kang Rus menimpali pertanyaanya kembali, kamu ini ke Jakarta karena judi? Judi dengan nasibmu? Judi dengan takdirmu? Itu kata batinmu?

Aku terbelalak, mulutku seakan ingin meludah, telingaku semakin merah. Kugenggam kaleng minuman erat-erat, kuremas seperti gorengan. Dalam hatiku ingin menjawab pertanyaan kang Rus dengan lantang tepat di gendang telinganya, iya!! Tapi kata itu tak sanggup keluar dari mulutku. Jika aku menjawab sepatah katapun pastilah kang Rus akan semakin terbahak ‘ngenyek’, dan orang-orang akan menganggap kita sepasang orang gila. Aku hanya terdiam dan meremas kaleng, wajahku menunduk memandangi lembaran ijazah yang semakin kumal.

Kita melanjutkan perjalanan, kang Rus duduk disebelah kananku sekaligus memamerkan cara mengemudi. Klakson berkali kali disemprotkan ke pengemudi lain. Riuh lalu lintas kunikmati sebagai musik jalanan. Mobil yang kita naiki penuh dengan stiker dan tulisan kampanye, rupanya kang Rus dapat mobil ini dari salah satu anggota dewan. Mobil inventaris namanya, dan digunakan untuk menginventarisir perjalananku.

Gemerlap lampu jalanan mengahampiriku, halusinasi mulai kurangkai sepanjang jalan yang basah tipis karena rintik hujan. Kata ‘nek’menjadi penghantar lelapku dalam lamunan. Nek aku dapet kerja, nek aku orang kaya, nek aku bos, nek aku punya mobil, nek aku bisa apa saja..duhh nek semua bisa aku genggam.

Kelak, aku akan pulang kampung membawa mobil yang lebih mewah dari rongsokan ini! Sedan! Yaa, sedan termewah di ibukota, kamu doakan saja semoga tembus! Rencanaku kudu tembus,, Kang Rus menarik kesadaranku dengan klaksonnya.. Tin tiin..! Twot!..Pwum!!wouk!

Weladalah jebul macet! Sedangkan dilajur sisikanan nampak lenggang dan lancar, serombongan mobil mewah diiringi sirine melaju lancar tanpa hambatan. Dua motor besar mengawalnya bagai raja. Kulihat sedan mewah itu, RI 2. Itu tandanya ada pejabat negara sedang melewati jalur protokol ini. Dalam hatiku, itukah sedan termewah di ibu kota? Sedan itu tak cocok masuk jalanan kampungku!

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengencerkan Lem Kayu Fox Putih yang Benar

Pengalaman Nginep di Apartement Horor Jogja

Ciri Khas Logat atau Dialeg Orang Nganjuk